Minggu, 25 Oktober 2009

Telaga Pasir Sarangan

Kyai Pasir dan Nyai Pasir adalah pasangan suami isteri yang hidup di hutan gunung Lawu. Mereka berteduh di sebuah rumah (pondok) di hutan lereng gunung Lawu sebelah timur. Pondok itu dibuat dari kayu hutan dan beratapkan dedaunan. Dengan pondok yang sangat sederhana ini keduanya sudah merasa sangat aman dan tidak takut akan bahaya yang menimpanya, seperti gangguan binatang buas dan sebagainya. Lebih-lebih mereka telah lama hidup di hutan tersebut sehingga paham terhadap situasi lingkungan sekitar dan pasti dapat mengatasi segala gangguan yang mungkin akan menimpa dirinya.

Pada suatu hari pergilah Kyai Pasir ke hutan dengan maksud bertanam sesuatu di ladangnya, sebagai mata pencaharian untuk hidup sehari-hari. Oleh karena ladang yang akan ditanami banyak pohon-phon besar, Kyai Pasir terlebih dahulu menebang beberapa pohon besar itu satu demi satu.

Tiba-tiba Kyai Pasir terkejut karena mengetahui sebutir telur ayam terletak di bawah salah sebuah pohon yang hendak ditebangnya. Diamat-amatinya telur itu sejenak sambil bertanya di dalam hatinya, telur apa gerangan yang ditemukan itu. Padahal di sekitarnya tidak tampak binatang unggas seekorpun yang biasa bertelur. Tidak berpikir panjang lagi, Kyai Pasir segera pulang membwa telur itu dan diberikan kepada isterinya.

Kyai Pasir menceritakan ke Nyai Pasir awal pertamanya menemukan telur itu, sampai dia bawa pulang.

Akhirnya kedua suami isteri itu sepakat telur temuan itu direbus. Setelah masak, separo telur masak tadi oleh Nyai Pasir diberikan ke suaminya. Dimakannya telur itu oleh Kyai Pasir dengan lahapnya. Kemudian Kemudian Kyai Pasir berangkat lagi keladang untuk meneruskan pekerjaan menebang pohon dan bertanam.

Dalam perjalanan kembali ke ladang, Kyai Pasir masih merasakan nikmat telur yang baru saja dimakannya. Namun setelah tiba di ladang, badannya terasa panas, kaku serta sakit sekali. Mata berkunang-kunang, keringat dingin keluar membasahi seluruh tubuhnya. Derita ini datangnya secara tiba-tiba, sehingga Kyai Pasir tidak mampu menahan sakit itu dan akhirnya rebah ke tanah. Mereka sangat kebingungan sebab sekujur badannya kaku dan sakit bukan kepalang. Dalam keadaan yang sangat kritis ini Kyai Pasir berguling-guling di tanah, berguling kesana kemari dengan dahsyatnya. Gaib menimpa Kyai Pasir. Tiba-tiba badanya berubah wujud menjadi ular naga yang besar, bersungut, berjampang sangat menakutkan. Ular Naga itu berguling kesana kemari tanpa henti-hentinya.

Alkisah, Nyai Pasir yang tinggal di rumah dan juga makan separo dari telur yang direbus tadi, dengan tiba-tiba mengalami nasib sama sebagaimana yang dialami Kyai Pasir. Sekujur badannya menjadi sakit, kaku dan panas bukan main. Nyai Pasir menjadi kebingungan, lari kesana kemari, tidak karuan apa yang dilakukan.

Karena derita yang disandang ini akhirnya Nyai Pasir lari ke ladang bermaksud menemui suaminya untuk minta pertolongan. Tetapi apa yang dijuumpai. Bukannya Kyai Pasir, melainkan seekor ular naga yang besar sekali dan menakutkan. Melihat ular naga yang besar itu Nyai Pasir terkejut dan takut bukan kepalang. Tetapi karena sakit yang disandangnya semakin parah, Nyai Pasir tidak mampu lagi bertahan dan rebahlah ke tanah. Nyai Pasir mangalami nasib gaib yang sama seperti yang dialami suaminya. Demikian ia rebah ke tanah, badannya berubah wujud menjadi seekor ular naga yang besar, bersungut, berjampang, giginya panjang dan runcing sangat mengerikan. Kedua naga itu akhirnya berguling-guling kesana kemari, bergeliat-geliat di tanah ladang itu, menyebabkan tanah tempat kedua naga berguling-guling itu menjadi berserakan dan bercekung-cekung seperti dikeduk-keduk. Cekungan itu makin lama makin luas dan dalam, sementara kedua naga besar itu juga semakin dahsyat pula berguling-guling dan tiba-tiba dari dalam cekungan tanah yang dalam serta luas itu menyembur air yang besar memancar kemana-mana. Dalam waktu sekejap saja, cekungan itu sudah penuh dengan air dan ladang Kyai Pasir berubah wujud mejadi kolam besar yang disebut Telaga. Telaga ini oleh masyarakat setempat terdahulu dinamakan Telaga Pasir, karena telaga ini terwujud disebabakan oleh ulah Kyai Pasir dan Nyai Pasir.

Kera dan Ayam

Pada jaman dahulu, tersebutlah seekor ayam yang bersahabat dengan seekor kera. Namun persahabatan itu tidak berlangsung lama, karena kelakuan si kera. Pada suatu petang Si Kera mengajak si ayam untuk berjalan-jalan. Ketika hari sudah petang si Kera mulai merasa lapar. Kemudian ia menangkap si Ayam dan mulai mencabuti bulunya. Si Ayam meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Akhirnya, ia dapat meloloskan diri.

Ia lari sekuat tenaga. Untunglah tidak jauh dari tempat itu adalah tempat kediaman si Kepiting. Si Kepiting adalah teman sejati darinya. Dengan tergopoh-gopoh ia masuk ke dalam lubang kediaman si Kepiting. Disana ia disambut dengan gembira. Lalu Si Ayam menceritakan semua kejadian yang dialaminya, termasuk penghianatan si Kera.

Mendengar hal itu akhirnya si Kepiting tidak bisa menerima perlakuan si Kera. Ia berkata, “marilah kita beri pelajaran kera yang tahu arti persahabatan itu.” Lalu ia menyusun siasat untuk memperdayai si Kera. Mereka akhirnya bersepakat akan mengundang si Kera untuk pergi berlayar ke pulau seberang yang penuh dengan buah-buahan. Tetapi perahu yang akan mereka pakai adalah perahu buatan sendiri dari tanah liat.

Kemudian si Ayam mengundang si Kera untuk berlayar ke pulau seberang. Dengan rakusnya si Kera segera menyetujui ajakan itu. Beberapa hari berselang, mulailah perjalanan mereka. Ketika perahu sampai ditengah laut, mereka lalu berpantun. Si Ayam berkokok “Aku lubangi ho!!!” Si Kepiting menjawab “Tunggu sampai dalam sekali!!”

Setiap kali berkata begitu maka si ayam mencotok-cotok perahu itu. Akhirnya perahu mereka itu pun bocor dan tenggelam. Si Kepiting dengan tangkasnya menyelam ke dasar laut. Si Ayam dengan mudahnya terbang ke darat. Tinggallah Si Kera yang meronta-ronta minta tolong. Karena tidak bisa berenang akhirnya ia pun mati tenggelam.

Sumber: seasite.niu.edu (Disarikan dari Abdurrauf Tarimana, dkk, “Landoke-ndoke te Manu: Kera dan Ayam,” Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Tenggara, Jakarta: Dept. P dan K, 1978, hal. 61-62)

Rabu, 14 Oktober 2009

Pahlawan Kemerdekaan Nasional - Cut Nyak Dien (1850-1908)

Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.

Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1850, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.

Ketika Lampadang, tanah kelahirannya, diduduki Belanda pada bulan Desember 1875, Cut Nyak Dien terpaksa mengungsi dan berpisah dengan ayah serta suaminya yang masih melanjutkan perjuangan. Perpisahan dengan sang suami, Teuku Ibrahim Lamnga, yang dianggap sementara itu ternyata menjadi perpisahan untuk selamanya. Cut Nyak Dien yang menikah ketika masih berusia muda, begitu cepat sudah ditinggal mati sang suami yang gugur dalam pertempuran dengan pasukan Belanda di Gle Tarum bulan Juni 1878.

Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.

Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda. Teuku Umar telah dinobatkan oleh negara sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.

Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun.

Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil.

Tapi seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin tua. Penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit orang tua seperti encok pun mulai menyerang. Di samping itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin sulit memperoleh makanan.

Melihat keadaan yang demikian, anak buah Cut Nyak Dien merasa kasihan kepadanya walaupun sebenarnya semangatnya masih tetap menggelora. Atas dasar kasihan itu, seorang panglima perang dan kepercayaannya yang bernama Pang Laot, tanpa sepengetahuannya berinisiatif menghubungi pihak Belanda, dengan maksud agar Cut Nyak Dien bisa menjalani hari tua dengan sedikit tenteram walaupun dalam pengawasan Belanda. Dan pasukan Belanda pun menangkapnya.

Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya. Dia lalu ditawan dan dibawa ke Banda Aceh.

Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga dia pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. Di tempat pembuangan itulah akhirnya dia meninggal dunia pada tanggal 6 Nopember 1908, dan dimakamkan di sana.

Perjuangan dan pengorbanan yang tidak mengenal lelah didorong karena kecintaan pada bangsanya menjadi contoh dan teladan bagi generasi berikutnya. Atas perjuangan dan pengorbanannya yang begitu besar kepada negara, Cut Nyak Dien dinobatkan menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Penobatan tersebut dikuatkan dengan SK Presiden RI No.106 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.

Pahlawan Kemerdekaan Nasional - Cut Nyak Meutia (1870-1910)

Pameo yang mengatakan wanita sebagai insan lemah dan harus selalu dilindungi tidak selamanya benar. Itu dibuktikan oleh Cut Nyak Meutia, wanita asal Nangroe Aceh Darussalam, yang terus berjuang melawan Belanda hingga tewas diterjang tiga peluru di tubuhnya.

Wanita kelahiran Perlak, Aceh, tahun 1870, ini adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang hingga titik darah penghabisan tetap memegang prinsip tak akan mau tunduk kepada kolonial.

Sebelum Cut Nyak Meutia lahir, pasukan Belanda sudah menduduki daerah Aceh yang digelari serambi Mekkah tersebut. Perlakuan Belanda yang semena-mena dengan berbagai pemaksaan dan penyiksaan akhirnya menimbulkan perlawanan dari rakyat. Tiga tahun sebelum perang Aceh-Belanda meletus, ketika itulah Cut Nyak Meutia dilahirkan. Suasana perang pada saat kelahiran dan perkembangannya itu, di kemudian hari sangat memengaruhi perjalanan hidupnya.

Ketika sudah beranjak dewasa, dia menikah dengan Teuku Muhammad, seorang pejuang yang lebih terkenal dengan nama Teuku Cik Tunong. Walaupun ketika masih kecil ia sudah ditunangkan dengan seorang pria bernama Teuku Syam Syarif, tetapi ia memilih menikah dengan Teuku Muhammad, pria yang sangat dicintainya.

Perang terhadap pendudukan Belanda terus berkobar seakan tidak pernah berhenti. Cut Nyak Meutia bersama suaminya Teuku Cik Tunon langsung memimpin perang di daerah Pasai. Perang yang berlangsung sekitar tahun 1900-an itu telah banyak memakan korban baik dari pihak pejuang kemerdekaan maupun dari pihak Belanda.

Pasukan Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap memaksa pasukan pejuang kemerdekaan yang dipimpin pasangan suami istri itu melakukan taktik perang gerilya. Berkali-kali pasukan mereka berhasil mencegat patroli pasukan Belanda. Di lain waktu, mereka juga pernah menyerang langsung ke markas pasukan Belanda di Idie.

Sudah banyak kerugian pemerintahan Belanda baik berupa pasukan yang tewas maupun materi diakibatkan perlawanan pasukan Cut Nyak Meutia. Karenanya, melalui pihak keluarga Meutia sendiri, Belanda selalu berusaha membujuknya agar menyerahkan diri. Namun Cut Nyak Meutia tidak pernah tunduk terhadap bujukan yang terkesan memaksa tersebut.

Bersama suaminya, tanpa kenal takut dia terus melakukan perlawanan. Namun naas bagi Teuku Cik Tunong, suaminya. Suatu hari di bulan Mei tahun 1905, Teuku Cik Tunong berhasil ditangkap pasukan Belanda. Ia kemudian dijatuhi hukuman tembak.

Berselang beberapa lama setelah kematian suaminya, Cut Nyak Meutia menikah lagi dengan Pang Nangru, pria yang ditunjuk dan dipesan suami pertamanya sebelum menjalani hukuman tembak. Pang Nangru adalah teman akrab dan kepercayaan suami pertamanya, Teuku Cik Tunong. Bersama suami keduanya itu, Cut Nyak Meutia terus melanjutkan perjuangan melawan pendudukan Belanda.

Di lain pihak, pengepungan pasukan Belanda pun semakin hari semakin mengetat yang mengakibatkan basis pertahanan mereka semakin menyempit. Pasukan Cut Meutia semakin tertekan mundur, masuk lebih jauh ke pedalaman rimba Pasai.

Di samping itu, mereka pun terpaksa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menyiasati pencari jejak pasukan Belanda. Namun pada satu pertempuran di Paya Cicem pada bulan September tahun 1910, Pang Nangru juga tewas di tangan pasukan Belanda. Sementara Cut Nyak Meutia sendiri masih dapat meloloskan diri.

Kematian Pang Nangru membuat beberapa orang teman Pang Nangru akhirnya menyerahkan diri. Sedangkan Meutia walaupun dibujuk untuk menyerah namun tetap tidak bersedia. Di pedalaman rimba Pasai, dia hidup berpindah-pindah bersama anaknya, Raja Sabil, yang masih berumur sebelas tahun untuk menghindari pengejaran pasukan Belanda.

Tapi pengejaran pasukan Belanda yang sangat intensif membuatnya tidak bisa menghindar lagi. Rahasia tempat persembunyiannya terbongkar. Dalam suatu pengepungan yang rapi dan ketat pada tanggal 24 Oktober 1910, dia berhasil ditemukan.

Walaupun pasukan Belanda bersenjata api lengkap tapi itu tidak membuat hatinya kecut. Dengan sebilah rencong di tangan, dia tetap melakukan perlawanan. Namun tiga orang tentara Belanda yang dekat dengannya melepaskan tembakan. Dia pun gugur setelah sebuah peluru mengenai kepala dan dua buah lainnya mengenai dadanya.

Cut Nyak Meutia gugur sebagai pejuang pembela bangsa. Atas jasa dan pengorbanannya, oleh negara namanya dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang disahkan dengan SK Presiden RI No.107 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.

Selasa, 13 Oktober 2009

Pahlawan Kemerdekaan Nasional - Kiai Hasyim Asyari (1875-1947)

ULAMA PEMBARUAN PESANTREN


Pendiri pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).

Kakeknya, Kiai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.

Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.

Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.

Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy'ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.

Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.

Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy'ari.

Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.

Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy'ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.

Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.

Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, Hasyim Asy'ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.

Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya Kiai Hasyim Asy’ari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng.

Pahlawan Kemerdekaan Nasional - Cipto Mangunkusumo (1886-1943)

Dokter Cipto Mangunkusumo adalah seorang dokter profesional yang lebih dikenal sebagai tokoh pejuang kemerdekaan nasional. Dia merupakan salah seorang pendiri Indische Partij, organisasi partai partai pertama yang berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka dan turut aktif di Komite Bumiputera.

Di samping itu, selain aktif di Komite Bumiputera, ia juga banyak melakukan perjuangan melalui tulisan-tulisan yang nadanya selalu mengkritik pemerintahan Belanda di Indonesia. Beberapa perkumpulan yang ditujukan untuk membangkitkan nasionalisme rakyat juga pernah didirikan dan dibinanya. Kegiatannya yang selalu berseberangan dengan Belanda tersebut membuat dirinya sering dibuang dan ditahan ke berbagai pelosok negeri bahkan ke negeri Belanda sendiri.

Awal perjuangan Cipto Mangunkusumo, pria kelahiran Pecangakan, Ambarawa tahun 1886, ini dimulai sejak dia kerap menulis karangan-karangan yang menceritakan tentang berbagai penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda. Karangan-karangan yang dimuat harian De Express itu oleh pemerintahan Belanda dianggap sebagai usaha untuk menanamkan rasa kebencian pembaca terhadap Belanda.

Ketika aktif menulis di De Express tersebut, sebenarnya dia sudah bekerja sebagai dokter pemerintah, dalam hal ini pemerintahan Belanda. Pekerjaan itu dia dapatkan setelah memperoleh ijazah STOVIA (Sekolah Dokter) di Jakarta. Saat itu dia ditugaskan di Demak. Dan dari sanalah dia menulis karangan-karangan yang nafasnya mengkritik penjajahan Belanda di Indonesia. Akibat tulisan tersebut, dia diberhentikan dari pekerjaannya sebagai dokter pemerintah.

Tidak bekerja sebagai dokter pemerintah yang diupah oleh pemerintahan Belanda, membuat dr. Cipto semakin intens melakukan perjuangan. Pada tahun 1912, dia bersama Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mendirikan Indische Partij, sebuah partai politik yang merupakan partai pertama yang berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.

Ketika peringatan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Perancis, pemeritah kolonial Belanda di Indonesia berencana merayakannya secara besar-besaran (di Indonesia).

Para pejuang kemerdekaan merasa tersinggung dengan rencana tersebut. Belanda dianggap tidaklah pantas merayakan kemerdekaannya secara menyolok di negara jajahan seperti Indonesia saat itu. Dokter Cipto Mangunkusumo bersama para pejuang lainnya membentuk Komite Bumiputera khusus memprotes maksud pemerintah Belanda tersebut. Namun akibat kegiatannya di Komite Bumiputera tersebut, pada tahun 1913, dia dibuang ke negeri Belanda. Tapi belum sampai setahun, dia sudah dikembalikan lagi ke Indonesia karena serangan penyakit asma yang dideritanya.

Sekembalinya dari negeri Belanda, dr. Cipto melakukan perjuangan melalui Volksraad. Di sana dia terus melakukan kritik terhadap pemerintah Belanda dan sebaliknya selalu membela kepentingan rakyat. Karena kegiatannya di Volksraad tersebut, dia kembali mendapat hukuman dari pemerintah Belanda. Ia dipaksa oleh Belanda meninggalkan Solo, kota dimana dia tinggal waktu itu. Padahal saat itu, ia sedang membuka praktik dokter dan sedang giat mengembangkan "Kartini Club" di kota itu.

Dari Solo ia selanjutnya tinggal di Bandung sebagai tahanan kota. Walaupun berstatus tahanan kota, yang berarti bahwa dirinya tidak diperbolehkan keluar dari kota Bandung tanpa persetujuan dari pemerintah Belanda, namun perjuangannya tidak menjadi surut.

Dengan berbagai cara dirinya selalu menemukan bentuk kegiatan untuk melanjutkan pergerakan seperti menjadikan rumahnya menjadi tempat berkumpul, berdiskusi dan berdebat para tokoh pergerakan nasional di antaranya seperti Ir. Soekarno (Proklamator/Presiden pertama RI). Kegiatan-kegiatannya selama di Bandung terutama usaha mengumpulkan para tokoh pergerakan nasional di rumahnya akhirnya terbongkar. Dia kembali mendapat sanksi dari pemerintah Belanda. Pada tahun 1927, dari Bandung dia dibuang ke Banda Neira.

Di Banda Neira, dr. Cipto mendekam/terbuang sebagai tahanan selama tiga belas tahun. Dari Banda Naire dia dipindahkan ke Ujungpandang. Dan tidak lama kemudian dipindahkan lagi ke Sukabumi, Jawa Barat. Namun karena penyakit asmanya semakin parah, sementara udara Sukabumi tidak cocok untuk penderita penyakit tersebut, dia dipindahkan lagi ke Jakarta. Jakarta merupakan kota terakhirnya hingga akhir hidupnya. Dr. Cipto Mangunkusumo meninggal di Jakarta, 8 Maret 1943, dan dimakamkan di Watu Ceper, Ambarawa.

Sebagai seorang dokter, dr. Cipto pernah memperoleh prestasi gemilang ketika berhasil membasmi wabah pes yang berjangkit di daerah Malang. Pes merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh basil yang ditularkan oleh tikus. Karena sifatnya yang menular tersebut maka banyak dokter Belanda yang tidak bersedia ditugaskan untuk membasmi wabah tersebut.

Kegemilangannya membasmi wabah tersebut membuat namanya kesohor. Bahkan pemerintah Belanda yang sebelumnya telah memecatnya dari pekerjaannya sebagai dokter pemerintah malah menganugerahkan penghargaan Bintang Orde van Oranye Nassau kepadanya. Namun penghargaan dari Belanda tersebut tidak membuatnya bangga. Penghargaan tersebut malah dikembalikannya pada pemerintah Belanda.

Atas jasa dan pengorbanannya sebagai pejuang pembela bangsa, oleh negara namanya dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang disahkan dengan SK Presiden RI No.109 Tahun 1964, Tanggal 2 Mei 1964 dan namanya pun diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Pusat di Jakarta.
 
Counter Powered by  Online usersBlog Directory
Copyright © legenda kita | Powered by Blogger | Template by Blog Go Blog